Tribratanews.polri.go.id - Jakarta. Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM RI) buka suara soal aspartame pemanis yang kerap ditemui pada soda dikaitkan dengan kemungkinan karsinogen atau kanker. Sejauh ini, pihaknya masih memantau perkembangan laporan yang dirilis Organisasi Kesehatan Dunia (WHO).
Regulasi terkait perizinan penggunaan aspartame dipastikan belum berubah. Masih mengacu pada pedoman Codex General Standard for Food Additives (Codex GSFA) yang mengizinkan penggunaannya dalam batas kadar tertentu.
Menurut PerBPOM Nomor 11 Tahun 2019 tentang Bahan Tambahan Pangan, aspartame masuk kategori pemanis buatan yang diproses secara kimiawi, dan senyawa tersebut tidak terdapat di alam.
Ada sederet pemanis buatan yang diizinkan termasuk aspartame, yakni asesulfam-K, asam siklamat, kalsium siklamat, natrium siklamat, sakarin, sukralosa, neotam.
"Saat ini regulasi untuk bahan tambahan pangan pemanis buatan aspartame masih tetap sesuai batas maksimum yang ditetapkan di PerBPOM Nomor 11 tahun 2019 tentang Bahan Tambahan Pangan," tegas BPOM dikutip dari Detik, Sabtu (15/7/23).
Baca Juga: Bersihkan Sampah, Kapolda Metro Ajak Masyarakat Jaga Fungsi Hutan Mangrove
"Regulasi di Indonesia mengacu pada Codex General Standard for Food Additives (Codex GSFA) dan saat ini masih mengizinkan aspartame sebagai pemanis buatan dalam produk pangan.
Namun BPOM tetap monitor perkembangan aspartame ini, terutama kajian-kajian WHO, JECFA dan IARC," imbuhnya.
Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) dan Badan Internasional untuk Penelitian Kanker (IARC) baru-baru ini mengklasifikasikan aspartame pemanis soda terkait dengan kemungkinan karsinogen.
IARC dan WHO mengidentifikasi kemungkinan hubungan antara aspartame dan sejenis kanker hati yang disebut karsinoma hepatoseluler setelah meninjau tiga penelitian besar pada manusia yang dilakukan di AS dan Eropa yang meneliti minuman yang dimaniskan secara artifisial.
"Kanker adalah salah satu penyebab utama kematian secara global. Setiap tahun, 1 dari 6 orang meninggal karena kanker. Ilmu pengetahuan terus berkembang untuk menilai kemungkinan faktor pemicu atau pemicu kanker, dengan harapan dapat mengurangi jumlah ini dan jumlah korban manusia," ujar Dr. Francesco Branca, Direktur Departemen Nutrisi dan Keamanan Pangan WHO dikutip dari laman resmi, Sabtu (15/7/23).
(sy/hn/um)