Sulit rasanya membayangkan terjadi kumpulan massa yang banyak, tidak patuh terhadap protokol kesehatan, dan saling berteriak di tengah kerumunan tersebut. Itulah yang bisa jadi akan terjadi, jika buruh, mahasiswa dan massa lainnya tetap nekad meneruskan rencana aksi demo besar-besaran yang akan dilakukan, besok di Jakarta dan berbagai tempat lainnya untuk memprotes pengesahan UU Cipta Kerja oleh DPR, Senen lalu.
Entah apa yang dipikirkan mereka yang menggerakkan demo atau mereka yang ikutan demo tersebut. Di tengah masih meningkatnya angka pasien baru Covid 19, rasanya melakukan demo dengan turun ke jalan, tentu bukan sebuah langkah yang bijak. Bagaimana mungkin para pimpinan buruh, pimpinan mahasiswa atau pimpinan massa, yang berteriak memgatasnamakan buruh, rakyat dan orang kecil, justru mengorbankan mereka terpapar Covid 19, hanya demi memperlihatkan mereka mampu menggerakkan massa yang banyak untuk menekan pemerintah dan DPR.
Padahal, banyak cara dan jalan untuk menyampaikan aspirasi, termasuk mengimbangi pengambil kebijakan, tanpa harus mengorbankan orang terpapar Covid 19. Jika mereka berpikir lebih bijak, bahkan Menteri Tenaga Kerja menunggu mereka tiap saat untuk berunding di kantornya untuk membuat peraturan di bawah UU tersebut, yang ramah dengan pekerja.
Setiap saat juga mereka bisa mengajukan judicial review ke Mahkamah Konstitusi, agar membatalkan atau merevisi UU tersebut.
Jika mereka ingin terus menekan pemerintah untuk membatalkan atau memperbaiki UU tersebut, mereka juga bisa melakukannya dengan aplikasi petisi online, yang sekarang banyak di media sosial.
Rasanya, mereka yang menggunakan akalnya, harusnya memilih pilihaan-pilihan tersebut, dan menjauhkan dari pengumpulan massa yang banyak.Terakhir, sangat pantas, jika pada akhirnya Polri tetap tidak akan mengizinkan demo tersebut.
Jika memang substansi yang diutamakan, bukankah lebih baik pesan tersampaikan dibanding memamerkan cara menyampaikan pesan tersebut. Semoga ini jadi pemikiran kita bersama.
(TA)