Tribratanews.polri.go.id - Ponorogo. Berbagai macam upaya digalangkan oleh pemerintah untuk menekan angka kekerasan pada anak khususnya di lingkungan pondok pesantren. Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA), Bintang Puspayoga hadir di Pendopo Kantor Bupati Ponorogo untuk menandatangani Deklarasi Pesantren Ramah Anak yang diikuti oleh 112 orang pengelola dan 112 santri dari 112 pondok pesantren di Kabupaten Ponorogo sebagai upaya menciptakan lingkungan yang aman dan nyaman bagi anak di pondok pesantren.
Deklarasi ini merupakan tindak lanjut dari kunjungan Menteri PPPA ke Kabupaten Ponorogo pada September lalu. Menteri PPPA menekankan, Deklarasi Pesantren Ramah Anak ini dilakukan sebagai bentuk komitmen awal untuk melakukan pencegahan dan penanganan kasus anak serta mendorong pembentukan tim penanganan kasus yang ramah anak di pondok pesantren.
“Pembentukan tim penanganan kasus yang ramah anak di pondok pesantren ini akan ditindaklanjuti dengan beberapa kegiatan lanjutan seperti Bimbingan Teknis dan Pelatihan Konvensi Hak Anak yang akan terus di dampingi oleh tim dari Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Anak (KemenPPPA). Pembentukan tim ini juga diharakan memberikan dampak berkepanjangan dan menghasilkan outcome untuk menghapus mata rantai kekerasan di pondok pesantren, baik kekerasan antar santri atau pengelola pondok pesantren dengan santrinya,” ungkap Menteri PPPA, Jum’at (04/11), dilansir dari kemenpppa.go.id.
Baca juga : Kemen PPPA Gandeng LRT Sosialisasikan UU TPKS
Model pendidikan berbasis pesantren keagamaan Islam menjadi salah satu ikon pendidikan di Indonesia. Hampir di setiap pelosok di Indonesia memiliki pondok pesantren sebagai tempat untuk anak-anak menempa pendidikan formal juga rohani. Perkembangan pondok pesantren pun semakin terlihat dengan pengembangan dan pembaharuan pondok pesantren yang semakin modern, terpadu, serta berbagai macam istilah lainnya. Pengembangan tersebut tak lantas melupakan jati diri dari pondok pesantren itu sendiri, yaitu tetap mempertahankan pembelajaran agama sebagai pokok kurikulum pondok pesantren.
Namun, seiring dengan perkembangan pondok pesantren yang kian pesat pun turut bermunculan kasus-kasus kekerasan yang begitu memprihatinkan terjadi di dalam tubuh lembaga pondok pesantren itu sendiri sehingga mencoreng nama baik pondok pesantren yang telah berdiri selama berpuluh-puluh tahun dengan sepak terjang sejarah yang mendarah daging. Mulai dari kekerasan fisik, psikis, hingga kekerasan seksual terjadi di pondok pesantren yang dilakukan oleh sesama santri maupun pengelola pondok pesantren.
Berkaca dari laporan yang masuk ke Simfoni PPA dalam kurun waktu 2019 – 2021, terjadi peningkatan kasus kekerasan yang terlaporkan terhadap anak. Kasus kekerasan yang terjadi pada anak mayoritasnya merupakan kekerasan seksual di berbagai macam setting, termasuk di dalamnya adalah di pondok pesantren. Sementara itu, merujuk data kekerasan seksual yang dihimpun oleh Komnas Perempuan sepanjang 2015 – 2021, diketahui bahwa kasus kekerasan di pondok pesantren menempati posisi kedua setelah perguruan tinggi. Simfoni PPA juga mencatat sebanyak 7.691 kasus kekerasan terhadap anak yang terlaporkan dengan 8.420 anak menjadi korban selama periode Januari – Juli tahun 2022.
Besarnya angka tersebut menunjukkan betapa daruratnya kasus kekerasan terhadap anak yang terjadi di Indonesia, apalagi tidak sedikit kasus-kasus tersebut terjadi di tempat-tempat yang sepatutnya menjadi lokasi teraman bagi anak untuk mengenyam pendidikan, namun juga menjadi tempat anak untuk tumbuh dan berkembang.
“Merespon bentuk kekhawatiran yang terjadi akan runtuhnya tiang pondok pesantren karena kasus-kasus kekerasan yang bermunculan, KemenPPPA dan Kementerian Agama (Kemenag) berkomitmen menghadirkan pondok pesantren yang aman dan nyaman bagi setiap santrinya melalui perwujudan Pondok Pesantren Ramah Anak serta yang baru ini diluncurkan yakni Peraturan Menteri Agama Nomor 73 Tahun 2022 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual di Satuan Pendidikan pada Kementerian Agama. Bentuk dukungan dari Kemenag dengan melahirkan peraturan Menteri tersebut merupakan salah satu langkah konkret dari pemerintah untuk terus hadir melindungi setiap individu, khususnya anak-anak juga santri,” jelas Menteri PPPA.
Lebih lanjut, Menteri PPPA menegaskan, kontrol dan evaluasi terkait perlindungan anak tak lagi hanya sekedar menjadi kewajiban dari lembaga pendidikan, namun menjadi penting bagi seluruh pihak yang terlibat untuk berperan aktif memantau seberapa efektif upaya yang telah dilakukan oleh pemerintah pusat dan daerah, lembaga dan organisasi, serta orang tua dan masyarakat dalam mencegah dan menangani kasus kekerasan di lingkungan pendidikan, khususnya pendidikan keagamaan atau pondok pesantren.
Sebagai kementerian yang membidangi urusan pemberdayaan perempuan dan perlindungan anak, KemenPPPA dimandatkan sesuai dengan Peraturan Pemerintah Nomor 59 Tahun 2019 tentang Penyelenggaraan Koordinasi Perlindungan Anak, memiliki peran untuk melakukan koordinasi lintas sektor dengan lembaga terkait serta memastikan implementasi dan kerjasama berbagai sektor dalam menyediakan layanan bagi anak telah dilakukan secara ramah anak dan berbasis hak anak.
“Kami berharap, dengan penandatanganan bersama Deklarasi Pesantren Ramah Anak ini menjadi sebuah titik balik untuk transformasi menyeluruh badan lembaga pondok pesantren dalam menghadirkan dan mewujudkan pondok pesantren yang ramah anak dan berbasis hak anak. Agar kedepannya, tidak ada lagi kasus-kasus kekerasan yang terjadi di dalam pondok pesantren dan anak-anak dapat mengenyam pendidikan dengan nyaman dan aman sehingga melahirkan santri-santri yang berdaya menjaga martabat kemanusiaan,” ungkap Menteri PPPA.
Bupati Ponorogo, Sugiri Sancoko mengapresiasi gerakan Deklarasi Pesantren Ramah Anak yang diusung oleh KemenPPPA. Dengan pesatnya pertumbuhan dan perkembangan pondok pesantren di Indonesia, gerakan ini menjadi salah satu fondasi dalam mewujudkan pondok pesantren ramah anak serta melahirkan santri-santri berakhlak mulia.
“Jauh sebelum saya lahir, Kabupaten Ponorogo sudah menjadi kota santri. Hingga hari ini, jumlah santri yang tengah mondok di Kabupaten Ponorogo jumlahnya berkisar 40 ribu lebih dan 90% nya adalah anak-anak. Hal tersebut menunjukkan betapa percayanya orang tua menitipkan anak-anak mereka ke pondok pesantren sehingga penguatan pesantren ramah anak ini menjadi hal yang tidak boleh terlewatkan. Saya harap kedepannya kita dapat terus bekerjasama, berkolaborasi, semata-mata demi kebaikan kita bersama khususnya bagi anak-anak kita yang berada di pondok pesantren,” ungkap Sugiri.
Adapun isi dari Deklarasi Pesantren Ramah Anak di Kabupaten Ponorogo yang dilafalkan oleh salah satu perwakilan dari pengelola pondok pesantren berupa:
Menciptakan pesantren ramah anak yang memenuhi standar pendidikan berbasis agama yang berbasis kepada prinsip kepentingan terbaik bagi anak, mendukung tumbuh kembang anak, melalui proses pembelajaran dan pembinaan tanpa kekerasan dan diskriminasi, disertai lingkungan yang bersih, sehat, hijau, inklusif, dan nyaman.
Menjadikan para santri menjadi generasi yang tidak hanya cerdas tapi juga tangguh, religius, berakhlakul karimah, dan mampu menjawab tantangan di era global. Membentuk tim penanganan kasus yang ramah anak di pondok pesantren.
Pada kesempatan tersebut, Menteri PPPA juga berdialog dan mendengarkan aspirasi secara langsung dari beberapa perwakilan pengelola pondok pesantren dan santri, serta memberikan bantuan spesifik khusus anak kepada santri. Tidak lupa, Menteri PPPA menegaskan kepada seluruh pengelola pondok pesantren dan santri untuk berani speak up atau melapor jika ada kasus kekerasan yang dirasakan, dilihat, maupun diketahui baik di lingkup pondok pesantren maupun di luar.
KemenPPPA memiliki layanan pengaduan kekerasan terhadap perempuan dan anak melalui Layanan Sahabat Perempuan dan Anak 129 (SAPA 129). Para korban ataupun pelapor dapat melayangkan aduan melalui kanal hotline 129 serta WhatsApp di nomor 08111-129-129.
(fz/hn/um)